DEWASA DENGAN DEMOKRASI YANG BELUM DEWASA?
Kamis, 2 oktober 2014. Masih tetap dengan kisah heboh belakangan ini tentang carut marut di meja Parlemen. Pasca kemenangan Presiden terpilih Jokowi dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla, ternyata ketegangannya tidak berakhir disitu. Dengan dibentuknya Koalisi Merah Putih yang bersifat permanen, yang menurut ketua koalisi "Prabowo" adalah bertujuan untuk mengimbangi pemerintahan yang dipimpin Jokowi-JK. Ternyata itu bukan sekedar omong kosong belaka, terbukti dengan ditetapkannya UU MD3, UU Pilkada, dan terpilihnya Ketua dan Wakil Ketua DPR merupakan suatu hatrick bagi Koalisi Merah Putih.
Atas dasar kejadian ini, berbagai persepsi dalam masyarakat muncul bebarengan dengan pemberitaan media yang terkadang berlebihan dan kurang objektif. Mengenai UU Pilkada misalnya, banyak media yang berusaha membuat opini pada masyarakat sehingga UU tersebut disebut-sebut merampas kedaulatan rakyat, dan merupakan manuver politik Koalisi Merah Putih yang kalah dalam pemilihan Presiden bulan lalu. Terkadang pemberitaan yang berlebihan seperti ini perlu mendapat perhatian dari Dewan Pers karena dapat memicu konflik dalam masyarakat.
Untuk kasus UU Pilkada misalnya, dalam pemberitaan dikatakan seolah-olah UU tersebut baru dibahas setelah pemilihan Presiden sehingga merupakan aksi balas dendam koalisi yang kalah pemilu. Akan tetapi pada kenyataanya, UU tersenut telah lama digodok oleh Pmerintah (DPR dan Menteri) jauh sebelum pelaksanaan pemilu presiden. Bahkan terkait dengan penghapusan pemilihan Gubernur secara langsung, itu telah dibahas sejak tahun 2013 (waktu itu kebetulan perwakilan Kemendagri ada kunjungan ke kampus dan mengungkapkan itu), namun hal ini tidak pernah dimasukkan/diberitakan secara jelas oleh media. Selain itu, juga tidak pernah dipaparkan naskah akademik RUU Pilkada, sehingga maasyarakat menjadi tahu mengapa sampai ditetapkan seperti itu.
Pada dasarnya, Negara Indonesia belum dewasa dalam berdemokrasi. Sehingga masih sangat banyak kendala yang dihadapi dalam pelaksanaanya. Mengenai demokrasi yang dipaksakan dapat dibaca di
Pentagon Trap. Mengenai Pilkada langsung atau tidak langsung pada dasarnya tidak terdapat perselisihan diantara keduanya, bahkan dalam sila ke-4 disebutkan "dalam Permusyawarata/Perwakilan" dan dalam UUD 1945 disebutkan bahwa Kepala daerah dipilih secara demokratis, tidak disebutkan langsung atau tidak langsung, yang menjadi fokus perhatian rakyat (jika mengikuti perkembangan reformasi) seharusnya adalah mekanisme Pra Pilkada yang meliputi Penjaringan dan Penyaringan Calon serta mekanisme pengawasan dan pola pertanggungjawaban Kepala Daerah terpilih, bukan sekedar mengomentari sistem yang baru tanpa berlandaskan pada kondisi dan analisis yang jelas.
.jpg)
Mengenai isu bahwa kedaulatan rakyat telah dirampas, seharusnya itu tidak berkembang. Karena dengan UU seperti ini, hak demokrasi rakyat sama sekali tidak dirampas karena tidak bertentangan dengan UUD dan Pancasila. Jika ingin disamakan dengan Negara lain yang menerapkan demokrasi penuh, perlu dikaji kembali apakah Indonesia bisa seperti itu? Bahwa pada dasarnya negara kita tidak butuh sama dengan negara lain untuk maju,
Ibaratnya, ketika kita ingin membangun sebuah rumah, sedangkan kita tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk mewujudkan rumah impian kita, jika dipaksakan mungkin rumah kita akan terwujud, entah dengan rupa dan kenyamanan yang bagaimana bahkan mungkin tidak akan pernah selesai karena kita tidak punya pengetahuan terkait membangun rumah. <kita rugi tenaga, pikiran dan biaya>. bandingkan dengan jika kita menggunakan tenaga tukang bangunan/kontraktor yang sangat menguasai pengetahuan membangun rumah idaman, sudah pasti rumah kita akan terwujud sesuai dengan yang kita ingini dan dengan resiko gagal yang lebih kecil. <mungkin kita akan mengeluarkan biaya lebih, tetapi tidak pada tenaga dan pikiran>. yang menjadi pertimbangan kita hanyalah bagaimana lebih selektif memilih tukang bangunan/kontraktor yang berkualitas dan profesional di bidangnya.

begitupun dengan pelaksanaan demokrasi di negara ini, kita ingin semuanya kita laksanakan sendiri, secara langsung. Padahal pengetahuan kita (pada umunya dari 200juta lebih jiwa) tidak mumpuni, maka yang terjadi adalah demo brutal, perusakan dimana-mana tanpa ada output sama sekali. Tetapi dengan mekanisme perwakilan, demokrasi akan lebih efektif karena berjalan dengan keterwakilan. Tinggal kita perbaiki bagaimana pola keterwakilannya, salah satunya dengan rekruitmen politik yang bersih dan beretika, maka pembiayaan kegiatan bernegara akan lebih murah dan penggunaan anggaran akan lebih optimal (ingat, optimal berbeda dengan maksimal).
.jpg)
Kejadian akhir-akhir ini bukanlah kesalahan partai A atau B, tetapi pada sistem dan pola perekrutan para wakil rakyat yang ada di parlemen. Mau menyalahkan MPR saat ini, toh yang menempatkan mereka pada posisinya saat ini adalah rakyat (terlepas kamu/aku milih atau ga), adalah blunder mengatak bahwa mereka disana karena suatu ketidak sengajaan, menyalahkan beliau2 saat ini sama saja dengan menyalahkan rakyat, yang berarti menyalahkan sistem pemilihan langsung. :)
Jika kita sebagai rakyat ingin berbuat sesuatu, maka bukan dengan mengatas namakan sesuatu yang kita anggap benar tanpa dasar, tapi bergeraklah dengan dasar yang benar, yang benar2 terdapat niat untuk bangkit dari keterpurukan. Jangan kita berusaha sama dengan sistem negara maju, karena kita negara berkembang, jangan kita berbuat berlebihan mengatas namakan demokrasi dan HAM (mengolok Presiden, adakah etikanya?) saya bukan orang yang pro denga A atau B, tapi saya ingin kita sama-sama berfikir dengan dasar analisis keilmuan bukan pemberitaan. ::)
SEMANGAT JIWA MUDA, MERDEKA! :D