Selasa, 29 April 2014

The True Story About Hiking (With Philosophy)



Hiking, bisa dibilang itu salah satu hobi saya. Yaa, mungkin bagi sebagian orang ini adalah hobi yang muluk-muluk, hobinya anak2 kurang kerjaan. Tapi sabar dulu sokab, kalo dipahami bener-bener ternyata hiking ini banyak banget nilai moralnya, jadi ga cuma hobi jalan-jalan ngasal ke gunung gitu.  Kalo saya sendiri sih emang bukan hiker yang bener-bener fokus, itu karena lingkungan pendidikan yang ga mendukung, maklumlah anak-anak asrama na.
Dibilang hiker sejati mungkin saya masih belum kesitulah ya, karena waktu ane abis buat di asrama. Jadi saya lebih fokus buat jalan2 di tempat yang sedikit diminati paka hiker aja. Gunung Lamongan di Kabupaten Lumajang, camp di Gunung Bromo dengan berbagai bentuk (bivak, tenda, terpal, numpang mushalla warga, dll.), camp Ranupani, Kawah Ijen di Bondowoso, backpack Papuma di jember, dan yang paling saya banggakan….. ngedaki
puncak danau gunung tujuh di Kabupaten Kerinci Prov. Jambi, keren banget itu danau di atas gunungnya. Yang terakhir ni sob, kemarin tanggal 27 akhirnya saya berhasil menginjak puncak Gunung Manglayang, gunungnya Praja IPDN.
Ngomong-ngomong pendakian manglayang sih bukan tingginya gunung yang menjadi kebanggaan (maklumlah Cuma 1818mdpl mo) tapi lebih ke nostalgia setelah hampir 1 tahun lebih ga nikmatin kuasa-Nya dari ketinggian. Dan hal lain yang menjadi cerita tersendiri adalah perencanaan pendakian yang sama sekali ga terencana dengan seorang sahabat bernama Rendi.dengan semangatnya dia bangunin saya pukul 4.30 ngajak muncak, ya jelas aja tanpa banyak basa-basi kita langsung jalan tanpa bekal, kebetulan hati juga lagi gundah ini, sekalian mau dibersihin diatas.
Jadi gini kronologisnya:
1.    4.30 saya mandi,
2.    5.30 kita start dari kampus dengan JALAN KAKI (karna ketinggalan mobil ni)
3.    7.08 sarapan di warung beureum dengan segelas pop mi (sarapan ngasal ni)
4.    Jam 9-anlah sampe di puncak bayangan
5.    Kepuncak untuk liat upacara pembaretan madya praja XXIV
6.    Turun deh
Sebenarnya lagi ga mood nulis ni sob, jujur aja hati masih gundah (diiringi lagu separuh jiwaku pergi by anang). Balik lagi yok bicara soal kandungan moral daki gunung. Ini pendapat pribadi aja sih, jadi jangan dikaitin dengan teori atau aliran tertentu. Menurut saya yang nikmatin aktivitas ini, daki gunung itu bukan suatu cara buat terlihat keren dengan olahraga ekstrim, tapi lebih jauh dari itu. Ini tentang filosofi kehidupan, yang mungkin ga didapet diribuan aktivitas lain.
Ah masa iya mas, apa alasannya? Bagi temen2 yang pernah daki gunung, pasti ngerti kan gimana rasanya, gimana ga enaknya, lebih-lebih kalo kita ga tau bahwa puncak gunung itu udah di depan mata pasti bawaanya pengen balik turun aja kan. Nah, bayangkan lagi ketika kita udah sampe dipuncak, seberapa bahagianya temen-temen sekalian, betapa leganya ketika kita udah nginjekin kaki dipuncak gunung yang kita daki, dia udah kita takhlukkan, seketika itu capek langsung ilang kan.
Ini sama aja kaya jalan hidup kita, kalo kita punya tujuan hidup yang bener-bener kita raih, apapun rintangannya, gimanapun sulitnya pasti akan kita terjang, gas teruuss!! Toh. Terkadang perjuangan itu sangat diperlukan, ngelawan rasa capek yang kita rasakan, menyemangati diri sendiri dan terus fokus dengan tujuan. Inilah yang digambarkan saat kita daki gunung. Bahkan terkadang karena cita kita tak kunjung teraih kita merasa jenuh, capek yang sangat sampe terkadang kita berfikir untuk menyerah. Dan tanpa kita sadari ternyata kita udah dekat banget dengan puncak cita kita. Keep hiking.
Sekarang bayangkan yang kita citakan udah kita raih, semua rasa cape hilang kan. Inilah kebahagiaan yang kita impikan, cita kita terwujud kita udah sampe dipuncak kemenangan. Dalam perjalanannya terkadang kita terjatuh, terguling, tertimpa batu. Itulah alasan kita untuk bangkit lagi, bahwa bukan cita yang menghampiri kita, tapi kita yang mengejarnya. Kira-kira kaya gitu filosofi mendaki gunung, bahkan ada yang bilang, “mereka yang pernah mendaki gunung, pasti mereka menjadi pribadi yang tidak gampang menyerah, pribadi yang fight dalam segala kondisi, dan bisa hidup dalam kondisi apapun, karena mereka mempunyai tekad”. Bahkan ada beberapa perusahaan yang dalam merekrut karyawan, mereka yang hobi mendaki gunung mendapat prioritas tersendiri.
Selain itu kawan, dari segi nilai religius. Kita akan semakin yakin dengan tuhan kita, Allah SWT yang maha pencipta yang menguasai alam semsta ini. Dari atas kita akan saksikan lebih detail karya agung Allah, segala keindahan dan kemegahan yang Ia ciptakan. Kalo kita pahami nilai-nilai ini, merupakan sebuah alasan untuk terus meningkatkan iman dan taqwa kita kepada-Nya. Haha jadi sedikit berat bahasan kita, ok balik lagi sob.
Dalam urusan percintaan, ada yang berkata seperti ini “carilah pasangan yang mau bersamamu mendaki tingginya gunung, bukan pasangan yang hanya mau menunggumu diatas tingginya gunung”. Sabar dulu sokab, ini bukan berarti denotasi loh, ini maknanya kira-kira seperti ini. Carilah pasangan yang mau bersusah payah denganmu dalam menjalani hidup ini, sehingga segala kesulitan dan rintangan yang kalian hadapi dapat kalian selesaikan bersama, bukan pasangan yang hanya menunggu kalian di zona nyaman, yang maunya trima bersih tanpa tahu gimana proses kamu mendapat semua itu. Dalam kan maknanya, bahagia itu ga terbentuk waktu kita berada di Comfort zone kawan, tapi terbentuk saat kita menciptakan comfort zone itu dengan bersama-sama, dengan senyum hangat di bibir kita. Keep smile J.
Yah, sampe disini dulu ya obrolan kita tentang gunung ini, tar pada bosen liat tulisan ane yang ga berstruktur ini. Haha. I love you, like I did yesterday.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar